"Ada peluang di setiap kesulitan"
Albert Einstein
Usiaku sebelas tahun ketika kakek dan nenekku, yang mengasuhku, pergi dari negara kami, Hungaria. Diduduki oleh Soviet, kami menyelamatkan diri pada musim gugur tahun 1947, dan tiba di kamp pengungsian di Austria. Kami hanya memiliki baju yang melekat di tubuh. Perang Dunia II telah menghancurkan segala hal yang kami miliki, tetapi kami masih hidup. Dan, untuk itu, kami bersyukur kepada Tuhan.
Kamp pengungsi menjadi rumah bagi ratusan perlarian miskin seperti kami sendiri. Meskipun jelek dan sumpek, tetapi kami memiliki atap di atas kepala, baju sumbangan untuk di kenakan, serta sup dan roti untuk mengisi perut-perut lapar. Apa pentingnya baha kami tidak punya uang seperser pun?
Namun, tidak begitu bagi kakekku. Dia benci harus hidup dari bantuan orang lain, tidak mampu menghidupi keluarganya sebagaimana biasa dia lakukan. Kakekku yang merasa tidak berdaya lantas menghabiskan banyak waktu untuk berdoa, atau, menurut istilahnya, "mengobrol dengan Tuhan".
Di balik kamp kami yang suram, ada keindahan alam yang terdiri atas pegunungan, sungai yang jernih, dan lahan peternakan yang di warnai oleh hewan-hewan yang merumput. Sungai itu adalah sungai Drau. Aku dan Granpa menemukannya pada suatu hari di musim panas saat kami sedang berjalan-jalan menjelajah wilayah pedesaan. Granpa berkata dia telah bermimpi, dan mimpinya itu mengarahkannya agar berjalan-jalan.
"Kau bermain-mainlah di air, Granpa mau melakukan sesuatu," kata Granpa tiba-tiba, dengan kilau di matanya.
Jadi aku pun memercik-mercikkan air di bagian sungai yang dangkal, bersih, dan jernih, sementara Granpa berjalan bolak-balik sepanjang tepian sungai. Kemudian, kulihat dia memotong beberapa dahan pohon willow yang tumbuh subur di tepi sungai. Tidak lama kemudian, tangan Granpa penuh dengan batang pohon dan kami pun kembali ke kamp.
"Apa yang hendak Granpa lakukan?" tanyaku ingin tahu.
"Granpa akan membuat beberapa keranjang," jawab Granpa.
"Dan apa yang akan Granpa lakukan dengan keranjang-keranjang itu?" tanyaku lagi, mendadak teringat bahwa menganyam adalah hobi Granpa.
"Granpa akan menjualnya ke orang Austria."
Granpa lantas menemukan beberapa potong kayu dan batu-bata. Dibuatnya semacam meja kerja di depan barak kami. Lalu, setelah bekerja keras mengupas kulit pohon, dia mulai menganyam keranjang pertama. Orang-orang ramai berkumpul di sekelilingnya dan beberapa bocah lelaki dengan sukarela pergi mengambilkan dahan-dahan willow untuknya.
"Terima kasih. Jika keranjang-keranjangku terjual, akan kubayar bantuan kalian."
Dalam waktu kurang lebih satu minggu, ada enam keranjang cantik yang siap dijual. Granpa menggantung keenamnya pada tongkat panjang, menyampirkan tongkat itu ke bahunya, dan pergi ke kota. Dia tampak seperti gelandangan penjajal barang; Granma merasa malu melihatnya. Granpa kembali beberapa menit sebelum hari gelap--tanpa satu pun keranjang. Dia menjual semuanya! Kemudian, meraih ke dalam tas yang dibawanya, dia mengeluarkan sesuatu untukku. Benda itu adalah buku cerita baru yang kudambakan, yang sempat kulihat di balik etalase toko buku saat kami berjalan-jalan ke kota.
"Oh, terima kasih, Granpa." seruku sembari memeluknya.
"Tak percaya rasanya, Granpa bisa membeli buku ini"
"Sama-sama. Dan jangan lupa, dengan bantuan Tuhan, serta sedikit kemauan serta tekad, kau bisa menciptakan yang terbaik ditengah situasi buruk." Setelah itu, dia merah lagi kedalam tasnya dan mengeluarkan segulung benang merah serta jarum jahit, lalu menyerahkannya kepada Granma. "Aku masih ingat kau selalu ingin agar tanganmu tidak berhenti bekerja, Tereza, Kuharap ini akan membantu." Granma menangis bahagia sembari meraba gulungan benang itu! Lantas, sebelum pergi membayar anak-anak yang telah membantunya, Granpa mengumumkan dengan bangga, "Aku mendapatkan pesanan untuk membuat lebih banyak lagi keranjang."
Granpa meneruskan kegiatan barunya ini sepanjang musim panas. Dia bahkan memberikan pelajaran menganyam gratis untuk siapa pun yang tertarik. Setelah menjual set keranjangnya yang kedua, dia membeli sebatang pancing dan penggorengan besar. Kemudian, Granpa membuat api unggun di lingkaran baru yang telah diaturnya dan memasak banyak sekali ikan yang dia tangkap di sungai. Granpa membagikan ikan-ikan itu kepada para tetangga. Aneh rasanya, ada aroma sedap ikan goreng menyebar ke seluruh kamp--kamp tempat barak-barak berbaris layaknya tentara, menampung kehidupan orang-orang susah yang berharap dan berdoa untuk sesuatu yang lebih baik.
Granpa-ku tersayang adalah pemberi yang luar biasa. Dia tidak hanya memberikan buku yang kuinginkan, dia juga memberikan pelajaran hidup. Ciptakan hal terbaik dari situasi yang terburuk. Pelajaran itu akan membantuku menjalani hidupku kini.