Yang terletak dibelakang kita dan yang kita hadapi di depan kita adalah masalah remeh dibanding yang ada didalam diri kita sendiri
( Ralph Waldo Emerson )
Aku baru saja menutup biro iklan ku dan hampir bangkrut, tanpa gagasan tentang apa yang akan kuperbuat selanjutnya. Kemudian pada suatu hari, setelah membaca sebuah artikel majalah yang berbicara tentang kekuatan jaringan ( networking ), seolah-olah ada lampu yang menyala dikepalaku. Mengapa orang tidak mencari uang lewat jaringan? sewaktu itu aku mulai menggali, sebuah gagasan mucul : aku akan mendirikan perusahaan bernama POWERLUNCH! Orang-orang yang mencari kontak akan menghubungi aku, dan dengan berperan sebagai makcomblang bisnis ( matchmaker ), aku akan lebih piawai dibanding komputer dalam hal mencarikan orang yang tepat dalam industri tertentu yang mereka butuhkan, atau posisi apa tepatnya yang mereka cari. Selanjutnya aku akan mempertemukan orang-orang itu melalui sebuah "power lunch".Sempurna,bukan ?
Masalah satu-satunya adalah uangku tinggal sedikit sekali untuk memulai usaha ini, maka aku memanfaatkan salah satu aset yang tak pernah mengecewakan aku-mulutku. Aku mencetak 10.000 brosur di sebuah percetakan kecil-kecilan, dan selanjutnya menghimpun keberanian untuk berdiri disudut jalan antara Connecticut Avenue dan K Avenue ditengah kawasan bisnins Washington,D.C. Dengan suara sekeras-sekerasnya yang mampu kukeluarkan, aku berseru, "POWERLUNCH! Ini POWERLUNCH Anda!" Selama tiga hari, aku berteriak-teriak sambil membagi-bagikan brosur.Orang memandangiku dan merasa lucu,namun mereka mengambil brosur itu.
Pada akhir hari ketiga,semua brosur telah habis tetapi belum ada satu orang pun yang menelepon. Tanpa uang, tanpa semanagat, dan mulai kehilangan harapan, dengan kaki yang terasa berat akan berjalan pulang. Sewaktu mendekati pintu,telepon berbunnyi. Ternayata wartawan dari Washington Post. Dia telah melihat salah satu brosurku dan ingin tau apakah dia dapat mewawancarai aku untuk dimuat dihalaman depan rubrik "style" disurat kabar itu. Celaka, kataku dalam hati, aku tak mempunyai perusahaan, tak mempunyai telepon bisnis (dia menelepon ke telepon pribadiku ), dan belum menemukan struktur untuk usaha baruku-namun dengan sangat bersemangat aku menyatakan kesanggupan.
Esok harinya wawancara istimewa itu sungguh terjadi, dan meminta nomor telepon bisnisku. Aku menjawab bahwa aku akan menghubunginya siang itu untuk memberitahukan nomor telepon binsisku. Aku segera menuju kantor telepon dan setelah itu menelepon untuk memberikan nomor baruku 265-EATT. ( Nomor itu belum tersambung, namun setidaknya aku sudah mempunyai nomor.). Meskipun bingung, wartawan itu setuju mencantumkan nomor tersebut dakan artikelnya sesuatu yang langka untuk surat kabar sekelas Washington Post.
Esok harinya lagi aku terbangun oleh sebuah dering telepon pada telepon pribadiku dari seseorang teman yang memberiku selamat atas artikel tentang aku disurat kabar. Aku langsung terduduk, masih di tempat tidur. Celaka, nomor telepon baruku belum tersambung!. Untungnya, hanya beberapa saat kemudian aku mendengar pintuku diketuk. Ternyata seseorang petugas perempuan dari perusahaan telepon yang datang untuk meyambungkan telepon baruku. Sykurlah!. Dia pergi kebelakang rumah dan muncul kembali lima belas menit kemudian sambil membawa secarik kertas. " Apa ini?" tanyaku
" Ini pesan-pesan yang aku catat sewaktu aku masih di tiang telepon," sahutnya sambil tertawa. Usahaku rupanya sudah berjalan satu langkah mendahuluiku.
Sejak itu, banyak media lain menghubungi aku, termasuk New York Times,Christian Science Monitor, dan bahkan Entertainment Toningt. Aku menerima ratusan permintaan untuk santap siang sambil memperkenalkan banyka orsng. Aku berhasil memenuhi hasratku untuk bersenang-senang dan berbisnis sekaligus. Dan semua itu dimulai dipojok jalan antara Connecticut Avenue dan K Avenue, dengan suara yang lantang dan sedikit keberanian.