Apapun dapat diambil dari seseorang kecuali satu hal:
yang terakhir diantara kebebasan manusia memilih jalannya sendiri.
-Viktor Frankl
Sekolah kecil dipedalaman itu dipanaskan dengan menggunakan tungku arang model lama yang disebut potbellied coal stove. Seorang anak kecil mempunyai tugas untuk datang ke sekolah lebih pagi daripada yang lain untuk menyalakan api dan menghangatkan ruangan sebelum guru dan teman-temannya datang.
Pada suatu pagi mereka datang dan menemukan sekolah itu dilahap api. Mereka masih sempat menyelamatkan anak yang tidak sadarkan diri keluar dari amukan api, namun dengan keadaan lebih mendekati mati daripada hidup. Dia mengalami luka bakar di sekujur tubuh bagian bawah dan dia segera dilarikan ke rumah sakit daerah terdekat.
Dari tempat tidurnya, anak kecil yang setengah sadar dan menderita luka bakar mengerikan itu lamat-lamat mendengar pembicaraan antar dokter dan ibunya. Sang dokter mengatakan kepada ibu anak itu bahwa putranya mungkin tidak dapat diselamatkan dan sesungguhnya paling baik begitu, mengingat api telah menghancurkan setengah bagian tubuhnya yang sebelah bawah.
Akan tetapi anak yang pemberani itu tidak mau mati. Dia membulatkan tekadnya untuk tetap hidup. Entah bagaimana, yang membuat dokter tercengang, anak itu bertahan hidup. Ketika bahaya kematian telah berlalu, dia sekali lagi mendengar dokter dan ibunya berbincang-bincang dengan suara lirih. Sang ibu diberitahu bahwa karena api telah melumat begitu banyak daging di bagian bawah tubuhnya, keadannya akan lebih buruk daripada mati, sebab dia seperti ditakdirkan untuk lumpuh seumur hidup dengan kedua tungkai yang tidak berguna sama sekali.
Sekali lagi anak pemberani itu membulatkan tekadnya. Dia tidak akan lumpuh. Dia akan berjalan. Akan tetapi malangnya, dari pinggang ke bawah, dia tidak memiliki kemampuan motorik. Tungkainya yang kurus cuma bergelantung, tanpa tanda-tanda kehidupan.
Akhirnya dia boleh keluar dari rumah sakit. Setiap hari ibunya mengurut-urut kaki kurus anaknya, namun tidak ada rasa, tak ada kendali, tak ada apa pun. Walaupun begitu tekadnya untuk berjalan tidak surut sama sekali.
Ketika sedang tidak dibaringkan di tempat tidur, dia terkurung di sebuah kursi roda. Pada suatu hari yang cerah sang ibu mendorong kursi rodanya ke halaman untuk mendapatkan udara segar. Hari ini, alih-alih tetap duduk di sana, anak itu menjatuhkan diri dari kursinya. Dia merangkak dengan tanagn di atas rumput, kakinya diseret.
Dia berusaha keras mencapai pagar kayu putih yang membatasi tanah mereka. Dengan perjuangan yang luar biasa , dia mengangkat tubuhnya sampai berdiri sambil berpegangan pada pagar. Kemudian, tonggak demi tonggak, dia mulai menarik tubuhnya di sepanjang pagar sambil membulatkan tekadnya untuk berjalan. Dia mulai melakukan kegiatan ini setipa hari sampai membentuk tapak disekeliling rumah dekat pagar. Tak ada yang diinginkannya selain mengembangkan kehidupan pada kedua kakinya.
Akhirnya berkat pijatan-pijatan ortopedik setiap hari, ketekunannya seperti baja, dan tekadnya yang tak tergoyahkan, dia berhasil mengembangkan kemampuannnya untuk berdiri, kemudian berjalan pelan-pelan, lalu berjalan sendiri bahkan berlari.
Dia mulai berjalan ke sekolah, kemudian berlari ke sekolah, malahan menjadi penggemar olahraga lari. Belakangan dari universitas, dia terpilih menjadi anggota tim lari.
Lebih belakangan lagi, di Madison Square Garden, laki-laki muda yang tidak diharapkan bertahan hidup, yang diramalkan dengan begitu yakin bahwa dia tidak akan pernah berjalan lagi, yang tidak akan pernah bisa berlari, sosok muda bersemangat pejuang ini Dr. Glenn Gunningham, pernah menjadi pelari tercepat di dunia!