Salah satu Tindakan paling berani yang dapat Anda tunjukkan adalah mengenali jati diri, mengetahui siapa Anda, apa yang Anda yakini, dan kemana Anda ingin pergi.
- Sheila Murray Bethel
Hari itu merupakan hari yang luar biasa sibuk bagi staf rumah sakit dilantai enam. Ada sepuluh pasien baru yang dikirim ke situ dan Perawat Susan harus menghabiskan seluruh waktu dari pagi sampai petang untuk merawat mereka. Temannya Sharron, seorang pembantu rumah sakit, menyiapkan sepuluh kamar untuk pasien-pasien itu dan memastikan mereka merasa nyaman. Sesudah tugas mereka hari itu selesai dia meraih tangan Sharon sambil berkata,"Kita berhak beristirahat. Mari kita makan."
Duduk berhadap-hadapan di kafetaria yang bising, Susan menyaksikan Sharron dengan pandangan kosong menghapus embun di sebelah luar gelas minumannya dengan jempol. Wajahnya menyiratkan keresahan yang lebih dari hanya akibat kesibukan hari itu.
"Kau pendiam sekali. Apakah kau kelelahan, atau ada sesuatu yang tidak beres?" tanya Susan
Sharron ragu-ragu. Bagaimanapun, menyaksikan kekhawatiran yang tulus diwajah sang teman, dia mengaku,"Aku tidak dapat terus begini sampai akhir hidupku, Susan. Aku harus menemukan pekerjaan dengan bayaran yang lebih tinggi agar dapat membiayai hidup keluargaku. Kami sangat kekurangan. Kalau tidak karena orangtuaku mengurus anak-anakkku, kami tidak bisa hidup."
Susan melihat memar-memar dipergelangan Sharron yang sesekali tampak dari bawah jaketnya.
"Bagaimana dengan suamimu?"
"Kami tidak dapat mengandalkannya. Dia sepertinya tidak mampu bertahan di satu pekerjaan. Dia...bermasalah.
"Sharron, kau begitu baik terhadap pasien, dan kau senang bekerja disini. Mengapa kau tidak bersekolah lagi, menjadi perawat. Disini ada beasiswa untuk keperluan itu, dan aku yakin "orangtuamu bersedia mengasuh terus anak-anakmu sementara kau menjalani pendidikan."
"Sudah terlambat bagiku, Susan;aku terlalu tua untuk bersekolah lagi. Aku selalu ingin menjadi perawat, itu sebabnya aku mengambil pekerjaan sebagai pembantu disini;setidaknya aku dapat ikut merawat pasien."
"Berapa usiamu?"tanya Susan.
"Tiga Puluh sekian."
Susan menunjuk ke memar-memar pada pergelangan Sharron."Aku tidak asing dengan 'masalah' seperti ini. Sayang, tak pernah ada istilah terlambat untuk menjadi yang kau mimpikan. Biarlah aku bercerita mengapa aku tahu soal ini."
Susan mulai menceritakan bagian dalam kehidupannya yang tidak diketahui oleh sembarang orang. Sesuatu yang dalam keadaan normal tidak ingin dia bicarakan, kecuali ketika dia harus menolong seseorang.
"Aku pertama kali menikah sewaktu usiaku tiga belas tahun,ketika aku duduk dikelas delapan."
Sharron terkejut
"Suamiku ketika itu dua puluh dua tahun. Aku tak menduga bahwa dia cenderung melakukan kekerasan kepadaku. Kami menikah selama enam tahun dan aku mempunyai tiga anak laki-laki. Pada suatu malam suamiku memukulku begitu bengis sampai merontokkan semua gigi depanku. Aku mengambil anak-anakku dan meninggalkan rumah.
"Di penagdilan perceraian, hakim memberikan hak asuh putra-putraku kepada suamiku karena aku sembilan belas tahun dan dia beranggapan aku mustahil memenuhi kebutuhan mereka. Kejutan dahsyat karena dia merenggut putra-putraku membuat aku seolah-olah sulit bernapas. Yang menjadikan keadaanku lebih buruk, mantan suamiku mengambil anak-anak itu lalu pindah dan memutuskan semua kontak dengan mereka.
"Tepat seperti yang diramalkan oleh hakim, aku harus bekerja keras sekali hanya untuk hidup pas-pasan. Aku menemukan pekerjaan sebagai pelayan, dengan upah yang tidak menentu. Tidak jarang makanku sehari-hari hanya terdiri atas susu dan krakers. Yang paling sulit kuatasi adalah kekosongan dalam jiwaku. Aku tinggal di sebuah apartemen satu ruangan yang sangat kecil dam kesepian menjadi siksaan bagiku. Kerinduanku hampir tak tertahan untuk bermain dengan putra-putraku dan mendengarkan tawa mereka."
Dia berhenti sejenak. Bahkan setelah empat pulun tahun, kenangan itu masih terasa menyakitkan. Mata Sharron berkaca-kaca sewaktu dia mengulurkan tangannya untuk menghibur Susan. Sekarang tidak masalah jika memar-memar itu kelihatan.
Susan melanjutkan,"Aku segera menemukan bahwa pelayan dengan wajah tanpa senyum tidak mendapatkan upah tambahan, maka aku hidup di balik topeng senyum dan berusaha bertahan dengan cara itu. Aku menikah lagi dan mempunyai seorang anak perempuan. Dia menjadi alasanku untuk hidup, sampai dia kuliah. Setelah itu aku kembali ke titik semula, tak tahu yang harus kuperbuat dengan diri sendiri, sampai pada suatu waktu ibuku harus menjalani operasi. Aku mengamati perawat yang menanganinya lalu berpikir:aku dapat melakukannya. Masalahnya adalah, aku bersekolah hanya sampai kelas delapan. Kembali ke sekolah tampak seperti mendaki gunung yang sangat tinggi. Aku memutuskan mengambil langkah kecil-kecil menuju ke sasaranku. Langkah pertama mendapat ijazah GED (Diploma). Putriku sering tertawa melihat bagaimana peran kami menjadi terbalik. Sekarang aku yang belajar sampai larut malam dan bertanya kepada putriku."
Susan berhenti lagi dan menatap Sharon dalam-dalam."Aku menerima ijazahku ketika usiaku empat puluh enam tahun."
Air mata mengalir membasahi pipi Sharron. Inilah sosok yang menawarkan kunci untuk membuka pintu kegelapan dalam hidupnya.
"Langkah berikutnya adalah mendaftarkan diri ke sekolah perawat. Selama dua tahun yang terasa lama aku belajar, menangis dan kadang-kadang ingin berhenti. Akan tetapi keluargaku tidak memberi izin. Aku ingat pernah menelepon putriku dan menjerit,'Kau sadar berapa banyak tulang dalam tubuh fanaku, dan aku harus mengenali mereka semua! Aku tak sanggup, usiaku sudah empat puluh enam tahun!" Namun, aku berhasil. Sharron, aku tak dapat menggambarkan dengan kata-kata yang aku rasakan ketika aku menerima pin dan tutup kepala perawatku"
Santap siang Sharron sudah dingin, dan es dalam teh di gelasnya sudah mencair sewaktu Susan selesai bercerita. Ketika mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Sharron, Susan berkata,"kau tidak harus bertahan ketika terus disiksa. Jangan mau menjadi korban tentukan nasibmu sendiri. Kau akan menjadi perawat yang luar biasa. Kita akan mendaki gunung ini bersama-sama."
Sharron menyeka wajahnya yang tercoreng maskara dengan serbet."Aku tak menduga penderitaanmu seburuk itu. Sepintas lalu kau tampak seperti orang yang memiliki segalanya."
"Kupikir aku telah mengembangkan kebanggaan terhadap penderitaan yang pernah aku alami,"jawab Susan."Kalau aku menggunakannya untuk menolong orang lain, tak ada sama sekali yang hilang dariku. Sharron, berjanjilah kepadaku kau melanjutkan sekolah dan menjadi perawat. Setelah itu bantu orang lain dengan menceritakan pengalamanmu."
Sharron berjani. Beberapa tahun kemudian dia menjadi perawat bersetifikat dan bekerja bersama Susan, sahabatnya samapai yang belakangan pensiun. Sharron tidak pernah melupakan rekan kerjanya, pun janji yang pernah diucapkannya.
Kini Sharron duduk berhadap-hadapan dan mengulurkan tangan kepada mereka yang mengalami luka di tubuh maupun di hati, dengan berkata,"Tak pernah ada istilah terlambat. Mari kita mendaki gunung ini bersama-sama.''